Sebanyak 1.230 Kasus Pelanggaran Pemasaran Produk Pengganti ASI, Ini Tanggapan Aktivis Kesehatan

Temuan 1.230 pelanggaran pemasaran produk pengganti ASI menyoroti potensi keterkaitannya dengan stunting. Simak selengkapnya di sini!

Sebanyak 1.230 Kasus Pelanggaran Pemasaran Produk Pengganti ASI, Ini Tanggapan Aktivis Kesehatan
Sebanyak 1.230 Kasus Pelanggaran Pemasaran Produk Pengganti ASI, Ini Tanggapan Aktivis Kesehatan. Gambar : Ilustrasi Kreator BaperaNews Via Canva

BaperaNews - Organisasi pelanggaran kode.org baru-baru ini merilis temuan mengenai 1.230 pelanggaran yang dilakukan oleh pemasaran produk pengganti ASI di Indonesia.

Temuan ini disorot sebagai pemicu potensial persoalan stunting di tanah air karena dianggap sebagai penghambat pemberian ASI eksklusif untuk bayi.

Aktivis kesehatan, Yuli Supriati, menyampaikan keprihatinannya terkait temuan ini dan mengajak untuk tidak hanya fokus pada pengawasan susu formula (sufor), tetapi juga pemasaran kental manis.

Menurut Yuli, konsumsi kental manis oleh anak dan bayi menjadi penghambat asupan makanan bergizi. Dalam setiap pembahasan mengenai stunting, pemberian susu formula sering kali mendapat sorotan lebih, padahal kental manis yang dikonsumsi sebagai minuman susu oleh anak dan bayi juga memiliki dampak yang signifikan.

“Sangat disayangkan, dalam setiap pembahasan stunting, yang lebih banyak ditonjolkan adalah pemberian susu formula pada anak. Padahal, jika dilihat dari fungsinya, susu formula jelas peruntukannya memang untuk minuman anak atau keluarga," kata Yuli.

Baca Juga: DP3AKB Balikpapan Sebut 700 Ibu Hamil Berpotensi Lahirkan Anak Stunting

Lebih lanjut, Yuli mengungkapkan bahwa aturan terkait label dan promosi produk kental manis sudah ada dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.

Namun, masih terdapat celah bagi produsen untuk beriklan secara tidak terang-terangan, seperti pada scene-scene sinetron yang menyajikan produk kental manis.

“Tapi selalu ada celah bagi produsen, iklan terang-terangan memang sudah tidak ada, tapi produsen beriklan di dalam scene-scene sinteron, ini membutuhkan pengawasan lebih. Sekarang malah pada label produk yang seharusnya krimer, tapi tertulis kata susu, ini seperti kita kecolongan,” ungkapnya.

“Jika kode etik pemasaran susu formula seketat itu, kenapa pemerintah juga tidak bisa memperketat pengawasan kental manis? Padahal ini yang sudah jelas memberi pengaruh buruk bagi asupan gizi anak,” tutup Yuli.

Dengan demikian, diperlukan langkah konkret untuk mengatasi pelanggaran pemasaran produk pengganti ASI demi mendukung pertumbuhan dan perkembangan optimal anak-anak Indonesia.

Baca Juga: PT KAI: Pin Khusus Ibu Hamil Dapat Diperoleh Secara Gratis!