Pengacara Ini Didenda Rp 75 Juta Usai Bikin Laporan Kasus Pakai Chat GPT

Pengacara di AS, Steven Schwartz dan Peter Loduca, mendapat sanksi setelah terbukti membuat laporan palsu menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam aplikasi Chat GPT.

Pengacara Ini Didenda Rp 75 Juta Usai Bikin Laporan Kasus Pakai Chat GPT
Pengacara Ini Didenda Rp 75 Juta Usai Bikin Laporan Kasus Pakai Chat GPT. Gambar : Unsplash/Emiliano Vittoriosi

BaperaNewsSeorang pengacara di New York, AS mendapat denda dari hakim pengadilan usai ketahuan membuat dokumen ringkasan hukum yang tidak digarap sendiri melainkan dibantu pengerjaannya oleh kecerdasan buatan (AI) di aplikasi Chat GPT.

Dokumen laporan kasus palsu Chat GPT tersebut mencakup kutipan pendapat pengadilan yang di dunia nyata sebenarnya tidak ada.

Pengacara yang diberi sanksi tersebut ialah Steven Schwartz dan Peter Loduca dari firma hukum Levidow & Oberman AS.

Hakim Peter Kevin menyampaikan kedua pengacara tersebut telah menyerahkan laporan singkat palsu yang dibuat oleh AI untuk gugatan klien mereka pada maskapai penerbangan Avianca pada Maret 2023, mereka terus mendukung pendapat palsu setelah pengadilan mempertanyakan kebenaran datanya.

Steven dan Peter juga dinilai telah tunjukkan iktikad dan kinerja buruk dengan membuat laporan kasus palsu Chat GPT serta menyesatkan, karena kutipan hukum di dalamnya berasal dari kasus khayalan yang sebenarnya tidak ada di dunia nyata. 

Baca Juga : Anti Plagiarism, Turnitin Rilis AI Guna Deteksi Tulisan ChatGPT

Hakim meminta kedua pengacara itu membayar denda 5.000 dollar AS atau Rp 75 juta. Pengadilan juga mengingatkan pengacara lain agar selalu menjaga integritas dan kejujuran dalam pekerjaannya termasuk dokumen yang disampaikan serta memperhatikan kredibilitas dari sumber informasi yang disampaikan.

Chat GPT memang disebut bisa lakukan tugas layaknya manusia, namun aplikasi ini juga mendapat kontroversi di berbagai bidang. Seperti di bidang pendidikan yang dinilai bisa membuat insan pendidikan memanfaatkannya untuk mengerjakan tugasnya.

AI juga sebenarnya masih sering memberi informasi salah terutama ketika berhubungan dengan data dan fakta. OpenAI selaku perusahaan pemilik Chat GPT memberi keterangan di webnya bahwa aplikasi yang mereka buat tidak selalu benar, kadang juga berikan data yang salah.

“Kemajuan teknologi adalah hal yang wajar dan tidak ada salahnya memakai AI untuk bantuan. Namun aturan memaksa pengacara memastikan keakuratan dalam dokumen mereka” tegas hakim Castel.

Sementara kasus laporan kasus palsu Chat GPT yang ditangani Steven dan Peter ialah tentang seseorang yang lututnya terluka karena terkena baki layanan pengantar makanan ketika terbang di pesawat jurusan El Salvador ke New York pada Agustus 2019 lalu.

Pengadilan mengabulkan tuntutan korban pada maskapai, namun tidak membenarkan dokumen palsu yang dibuat oleh Peter dan Steven karena setelah ditelisik ternyata dokumen tidak dibuat sendiri melainkan dibuat oleh Chat GPT.

Baca Juga : ChatGPT Bakal Samai Kemampuan Otak Manusia Pada Akhir 2023!