Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Sistem Pemilu 2024

MK menolak gugatan terhadap sistem pemilu dan memutuskan bahwa Pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Simak selengkapnya di sini!

Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Sistem Pemilu 2024
Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Sistem Pemilu 2024. Gambar : Kompas.com/Fitria Chusna Farisa

BaperaNews - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang menolak gugatan terhadap sistem pemilu, sehingga Pemilu 2024 akan tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK, Ketua MK Anwar Usman mengumumkan penolakan terhadap gugatan tersebut pada Kamis (15/6).

Meskipun dalam putusan tersebut, Hakim MK Arief Hidayat menyampaikan dissenting opinion. Dalam putusan MK tolak gugatan sistem pemilu menegaskan bahwa politik uang dapat terjadi dalam semua sistem pemilu, baik itu proporsional terbuka maupun proporsional tertutup.

Hakim MK Saldi Isra menyatakan, "Pilihan terhadap sistem pemilihan apapun, sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang." Oleh karena itu, MK menegaskan perlunya tiga langkah dalam memerangi politik uang. Pertama, partai politik (parpol) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus memperbaiki diri dan berkomitmen untuk tidak menggunakan politik uang.

Kedua, penegakan hukum harus dilakukan tanpa membeda-bedakan latar belakang pelaku politik uang. Dan ketiga, masyarakat perlu diberikan kesadaran dan pendidikan politik untuk tidak menerima politik uang.

Hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif parpol, masyarakat sipil, dan masyarakat umum. MK dengan tegas menyatakan bahwa politik uang sama sekali tidak dibenarkan.

Saldi Isra menambahkan, "Politik uang lebih karena sifatnya yang struktural, bukan karena sistem pemilu yang digunakan. Tidak bisa dijadikan dasar karena sistem pemilihan tertentu."

MK tolak gugatan sistem pemilu juga untuk mencegah pragmatisme dari calon anggota legislatif atau parpol, diperlukan mekanisme seperti pemilihan pendahuluan atau mekanisme lain yang dapat digunakan untuk menentukan nomor urut calon.

Namun, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa persyaratan tersebut tidak hanya bergantung pada kesadaran politik, tetapi jika nantinya pembentuk undang-undang (UU) mengagendakan revisi UU 7/2017, persyaratan tersebut harus dimasukkan dalam materi perubahan tersebut.

Gugatan dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 diajukan oleh enam orang pada 14 November 2022. Mereka berharap MK mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup. Para pihak yang mengajukan gugatan tersebut antara lain Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono.  

Baca Juga : Polri Temukan Aliran Dana Pemilu 2024 Dari Jaringan Narkoba

Apa Alasan di Balik Permintaan Sistem Proporsional Tertutup?

Para pemohon memiliki alasan-alasan tertentu mengapa mereka meminta kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup. Beberapa alasan yang mereka kemukakan antara lain:

  1. Parpol memiliki peran penting dalam merekrut calon anggota legislatif yang berkualitas. Oleh karena itu, parpol memiliki kewenangan untuk menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.
  2. Sistem proporsional tertutup memberikan kesempatan kepada parpol untuk menentukan kadernya yang akan mewakili mereka di lembaga perwakilan. Proses ini dilakukan melalui pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis, sesuai dengan amanat UU Parpol. Dengan demikian, pemilih dapat dipastikan bahwa caleg yang dipilih oleh parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat.
  3. Saat ini, pemilu dilakukan dengan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak perseorangan. Sistem ini cenderung menempatkan individu sebagai peserta pemilihan, sementara peran parpol menjadi kurang signifikan. Hal ini terjadi karena tidak ada ketentuan konstitusional yang mewajibkan adanya pemilu dengan sistem proporsional terbuka yang diikuti dengan perolehan suara terbanyak.
  4. Pemohon yang merupakan pengurus parpol mengklaim bahwa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah disalahgunakan oleh caleg pragmatis yang hanya mengandalkan popularitas dan menjual diri tanpa memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol.
  5. Calon anggota legislatif yang dipilih melalui sistem proporsional tertutup tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol. Mereka juga tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik.
  6. Dengan sistem proporsional terbuka, anggota DPR/DPRD terlihat seolah-olah mewakili parpol, padahal mereka sebenarnya mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas partai yang menentukan siapa yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah melalui pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
  7. Sistem proporsional terbuka cenderung melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas. Hal ini menempatkan kemenangan individu sebagai tujuan utama dalam pemilu, padahal seharusnya kompetisi terjadi antara parpol dalam arena pemilu, karena peserta pemilu seharusnya adalah parpol, bukan individu seperti yang diatur dalam Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.

Sidang gugatan pemilu 2024 berlangsung selama 16 kali berlangsung dengan maraton. Namun di luar sidang, 8 fraksi DPR menolak MK mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup. 

Baca Juga : Hakim PN Jakpus Dipanggil Komisi Yudisial Terkait Putusan Tunda Pemilu