Fahd El Fouz : Menghadirkan Kembali Kehangatan Berwarganegara

Ketua umum DPP Bapera, Fahd El Fouz A Rafiq mengajak para pemuda untuk menghadirkan kembali kehangatan dan keakraban berwarganegara.

Fahd El Fouz : Menghadirkan Kembali Kehangatan Berwarganegara
Ketua umum DPP Bapera, Fahd El Fouz A Rafiq mengajak para pemuda untuk menghadirkan kembali kehangatan dan keakraban berwarganegara. Gambar : ANTARA FOTO/Dok. Sigid Kurniawan

BaperaNews - Barisan Pemuda Nusantara (Bapera) memiliki tagline yang sudah mengangkasa yakni #NusantaraBersatu, tagline itu berarti sebagai manifestasi untuk mengajak putra putri terbaik Bangsa untuk bersatu dalam arti yang sesungguhnya. 

Jika ada sebuah kelompok pemuda Nusantara di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ingin mencapai kemajuan mutlak, pada dasarnya yang perlu dipahami ialah bersatu (persatuan Indonesia). 

Ada sebuah pepatah yang berbunyi “Gajah berjuang sama gajah pelanduk mati ditengah-tengah” yang artinya adalah jika para pemimpin yang berkelahi/perang maka masyarakat yang akan menjadi korban.

Saat ini yang masih dipertanyakan adalah mengapa bangsa kita hari ini kehilangan sebuah keakraban berwarganegara?

Tumbuh menjadi dewasa merupakan ruang publik untuk kita seperti halnya hutan belantara liar gaduh, komunikasi di dalam dunia maya masih dipenuhi dengan sikap anti intelektual, lalu insinuasi, argumentum ad hominem, hingga guilty by association (mendakwa kesalahan dengan mengaitkan masalah personal). 

Pasalnya, sebagian diantara kita semakin kesini semakin kehilangan akurasi dalam menyikapi berbagai pemberitaan di dunia maya, sehingga dengan mudahnya memposting informasi tanpa menyaring dan memverifikasi tingkat kebenaran dan urgensinya. Begitu banyak klaim kebenaran, saling berebut benar dan cenderung kurang terbuka menerima kebaikan bersama. 

Diketahui, prasyarat komunikasi di ruang publik harus dilandasi public value berupa rasionalitas dan etika komunikasi cenderung tertutup oleh verbalisme dan sikap anti intelektual, sering kecenderungan untuk menggeneralisir berbagai persoalan tanpa melihat duduk persoalan.

Sebagai informasi, saat ini era post truth yang merupakan preferensi suka tidak suka (like and dislike) lebih di dahulukan dari pada pertimbangan rasional, imparsial dan objektif. Ruang publik kita saat ini cenderung masih dipenuhi sikap reaktif daripada komunikatif.

Kita belum mampu membangun ruang publik yang rasional dan beradab. Keterbukaan Informasi di era demokrasi yang seperti ini justru menimbulkan paradoks ketika proses diskursus kurang memantik dialog dan kesadaran akan nilai nilai publik.

Baca Juga : Fahd El Fouz A Rafiq: Kita Bisa Contoh Negara Nordic Dalam Mengembangkan Dunia Pendidikan

Maka tidak jarang diskursus di ruang publik menjadi penuh prasangka, sebab ujaran kebencian dan berita hoax merebak begitu cepat sehingga begitu banyak disinformasi dan distraksi terhadap berbagai persoalan publik. Diskursus yang lebih komunikatif  akan meminimalisir perbedaan persepsi kebenaran di ruang publik.  

Tujuan kali ini adalah demi bangsa bersatu dan bangsa kita damai, manusia dilahirkan tanpa persepsi, sikap kebencian yang berlebihan sesama anak bangsa tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sejak pilkada 2017 kebencian sesama anak bangsa khususnya kadrun dan cebong dipelihara. Perang di sosial media saling caci maki terus menyeruak ke publik. Jika dibiarkan ini sangat berbahaya untuk Persatuan Indonesia.

Kecemburuan atas kaum China yang lebih sukses itu di design oleh pihak tertentu, jadi kebencian itu diajarkan, Fahd El Fouz A Rafiq menegaskan “jika ada anak bangsa yang membenci sesama warga negara Indonesia keturunan china, arab atau lainnya pasti ada yang gosok dan ngajarin, ini persepsi dan diprovokasi, dan herannya lagi hal tersebut dipelihara sejak 2017 dan belum disembuhkan, hal ini  harus diselesaikan secara adat,” ucap Fahd El Fouz A Rafiq

Tak hanya itu, Fahd El Fouz A Rafiq juga menambahkan, Konflik atau percikan api seperti ini jangan seolah dibiarkan begitu saja, bisa menjadi besar kalau caci maki ini terus dipertontonkan di ruang publik, saling sumpah serapah sesama anak bangsa. Personal angers ini harus segera diselesaikan segera, jangan dipelihara.

Lantas bagaimana menyelesaikannya, sebagai anak bangsa Fahd El Fouz A Rafiq  memberikan contoh sebuah peristiwa yang pernah terjadi di republik ini, suatu hari  Bapak Benny Moerdani yang dicalonkan wakil presiden RI ke -2 saat itu datang menghadap pak Harto, ketika berhadapan dengan bapak pembangunan itu, pak Beny menjawab tidak bersedia menjadi Wakil Presiden. Dan akhirnya pak Harto memilih pak Sudarmono menjadi Wakil Presiden. Karena waktu itu pak Benny ditemani sang ajudan, ajudan pun bingung atas jawaban pak Beny tersebut.

Sang ajudan bertanya mengapa pak Benny menolak tawaran untuk menjadi Wakil Presiden RI, pak Benny menceritakan kepada ajudannya, “ Hei kamu tahu apa yang pemimpin kita lakukan itu kita contoh. Lalu sang ajudan bertanya “pemimpin yang mana jenderal?” Pak benny menjawab pertanyaan dari sang ajudan. Ketika rapat MPRS dia ditawari pertama untuk menjadi presiden Indonesia, namun dia menolak karena merasa belum tepat. Minoritas belum tepat memimpin Indonesia. Maka sebaiknya Soeharto saja. Pak jenderal Nasution itu islam namun keturunan Batak, pak Harto islam dan jawa lebih mayoritas yang dibutuhkan waktu itu. Dan pak benny pun melanjutkan saya ini katolik saya tahu diri walaupun didukung NU, golkar dan semua elemen bangsa tetap saya harus tahu diri.

NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya adalah mayoritas mereka membuka diri agar saya bisa yang katolik ini menjadi wakil presiden, pastinya jadilah di DPR nantinya. Tapi sekali lagi saya tahu diri. Jadi bernegara yang benar adalah “Mayoritas buka hati minoritas tahu diri”. Kembali keadaan saat ini. Jika Minoritas tidak tahu diri dan mayoritas tidak tidak buka hati dan pemerintah tidak segera menyelesaikan masalah ini bisa jadi masalah sangat besar di kemudian hari.  

Pria berusia 39 tahun ini mencontohkan negeri paman sam butuh proses dalam menerima perbedaan selama ratusan tahun, seperti kita ketahui bersama 20 Januari 2009 Barack Obama presiden ke 44 ( Presiden Kulit hitam Pertama USA) yang pernah sekolah di menteng Jakarta, di ikuti Kamala Harris Wapres Amerika pertama keturunan dari Asia Selatan.

Maka dari itu Fahd El Fouz A Rafiq mengajak kita semua untuk hadirkan kembali kehangatan dan keakraban berwarganegara dengan memegang teguh sila ke-3 pancasila untuk mencapai apa yang  kita cita citakan bersama yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penulis : ASW

Baca Juga : Fahd A Rafiq : Chief Destruction Officer Sangat Diperlukan Dalam Melakukan Pembaharuan Organisasi