Fahd A Rafiq: Efek Perang Dagang Microchips Semiconductor Langka, Kendaraan listrik Indent

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menyampaikan bahwa efek dari perang dagang, Microchips Semiconductor menjadi langka, dan kendaraan listrik menjadi indent.

Fahd A Rafiq: Efek Perang Dagang Microchips Semiconductor Langka, Kendaraan listrik Indent
Fahd A Rafiq: Efek Perang Dagang Microchips Semiconductor Langka, Kendaraan Listrik Indent. Gambar : Unplash.com/Dok. Michael Fousert

“Dua benda era digital yang sangat penting yaitu Microchips Semiconductor dan Baterai adalah energi baru yang lebih praktis (New Oil). Indonesia memiliki bahan baku utama untuk komponen Baterai dan Microchips. Langkah selanjutnya yang harus kita tempuh adalah Isi kepala (SDM) dan teknologi yang harus didukung dengan regulasi, pendanaan dan Insentif Pajak. Jika kita konsisten jalani ini Maka otomatis kita akan lebih unggul dari negara Amerika, Tiongkok dan India. Mengapa lebih unggul karena kita punya bahan baku dan semua ada di Bumi Nusantara”.

Fahd El Fouz A Rafiq 

(Ketua Umum DPP BAPERA) 

Ahmad Sofyan (Kontributor) – “Pemerintah Indonesia hari ini sedang gencar - gencarnya nya mempromosikan kendaraan listrik seperti motor, mobil, sepeda semua menggunakan EV (Electric Vehicle) dan sudah banyak bertebaran di jalanan kota kota Indonesia. Promosi kendaraan listrik tahap awal masih didominasi oleh para pelaku usaha,” ucap Fahd A Rafiq  melalui via Whatsapp dari kota Mekkah Arab Saudi pada (17/1).

Ketua Umum DPP Bapera mengatakan, seiring berjalannya waktu, realita berkata lain. Ada masalah di dunia saat ini. Pertama masalah chips dan Kedua adalah masalah baterai. Beberapa pertanyaan masih bergelimang di benak kita. Apakah anda dalam beberapa bulan ini sedang membeli mobil listrik ? Jangan heran kalau jawabannya indent, karena tidak ready stock. Hal ini terjadi di seluruh dunia, ada apa ?

“Kelangkaan tidak hanya terjadi pada mobil listrik tapi juga terjadi pada game konsol xbox playstation, laptop, computer, ponsel seri terbaru, peralatan medis. Kelangkaan dua alat canggih ini berefek pada naiknya harga. Dan semua hal tersebut terjadi karena terbatasnya Microchips semiConductor,” ungkap Fahd A Rafiq. 

Efek langkanya Chips Semiconductor 

Disisi lain Fahd A Rafiq melihat, dalam dunia Otomotif beberapa perusahaan besar seperti Toyota, Honda,  Nissan, Mitsubishi, Volkswagen, dan Ford memotong produksinya di tahun 2022. Toyota tahun lalu dan tahun 2023 memangkas produksinya sebesar 20%, Honda memangkas 40%. Semua produsen otomotif memangkas produksinya. CEO VW menyatakan masalah chips bisa sampai akhir tahun 2023 bagi dunia otomotif. Efek kelangkaan chips membuat Ford motor merugi sebesar 3 Billion Dollar di tahun 2022, jadi keterbatasan chips permintaan menurun, namun sebaliknya karena permintaan naik dan dunia kekurangan produsen Microchip. 

“Kita menengok kebelakang sejenak, efek pandemi Covid-19 membuat semua manusia berada dirumah dan memerlukan gadget. Industri gadget lah yang menyedot 80% chips dunia. Dan ketika dunia berjalan seperti sekarang dalam kondisi normal. Industri otomotif yang paling kekurangan chips, karena ordernya sudah diambil industri gadget,” pungkas Fahd A Rafiq.

Fahd A Rafiq menambahkan lagi, canggihnya era digital informasi membuat Microchips Semiconductor hanya diproduksi oleh 5 negara yaitu Taiwan, Tiongkok, Amerika, Jepang dan Korea Selatan. Kalau ditajamkan lagi Taiwan Penghasil 50% chips dunia, kalau Tiongkok kedepannya berhasil ambil Taiwan maka 70% Microchips semiconductor berada dibawah kendali Tiongkok. Setelah Tiongkok menguasai perdagangan dunia langkah selanjutnya menguasai teknologi yang mana teknologi tercanggih saat ini masih dipegang oleh Amerika.

Efek negatif keterbatasan chip ini dengan bisnis otomotif, yang mana 3% global economic output adalah kontribusi industri otomotif, memang angka ini terlihat kecil namun beberapa negara bergantung pada industri otomotif. Negara Ceko itu tergantung pada dunia otomotif, karena GDP nya 9% di dapat dari dunia otomotif, Slovakia GDP bergantung 13% pada dunia otomotif karena ekspor mereka adalah part dari otomotif. India 7% GDP nasionalnya dari dunia otomotif mengcover 30 juta Tenaga Kerja. Memang ngeri industri ini.

Inilah mengapa Indonesia sebagai penghasil bahan baku chips seperti Copper/tembaga, aluminium dan mineral lainnya harus ambil peran, beri insentif untuk perusahaan pembuat microchip agar indonesia bagian penting dari dunia dalam kendali teknologi juga. Salah satu syarat sebuah negara ingin maju adalah dengan menguasai teknologi dan itulah pesan yang selalu di dengungkan mendiang BJ Habibie.

Fahd A Rafiq memberikan contoh, Insentif itu berupa insentif bebas pajak, permodalan, perizinan demi membuat Indonesia menjadi produsen 20% chips dunia. Amerika memberikan Insentif tahun 2023 sejumlah 50 Billion Dollar, India memberikan 20 billion dollar untuk membangun lembaga research dan produsen microchips bagian dari National SemiConductor technology center. Juga untuk baterai, Tiongkok, Amerika dan India berebut memberikan Insentif negaranya kepada para pemain batere ini, baik manufaktur maupun mereka yang menciptakan komposisi baru dengan jumlah ketiganya jika ditotal di tahun 2023 Mereka memberikan 100 Billion Dollar untuk insentif industri batre.

Fahd A Rafiq menambahkan lagi, Kedua Industri itu sejak tahun 2019 hingga saat ini naik 407% kebutuhannya, dan dalam 5 tahun ke depan akan naik lagi 300% lagi dengan gadget 5G dan 6G dipasarkan plus mobil listrik. 

Beralih ke baterai, Nikel mau dijadikan baterai adalah pemahaman umum yang sampai saat ini di dengungkan di negara tercinta kita, namun apakah benar begitu? 

Pemakaian batre saat ini terbanyak ada unsur nikelnya, namun batre mobilnya berat dan mulai digeser ke komposisi lain. Nikel Lithium Cobalt selama ini digunakan menghadapi dua masalah. Pertama harga nikel yang terus naik, kedua cobaltnya bermasalah karena membunuh 2000 anak usia 6 - 12 tahun per tahunnya di kongo untuk mengambil Cobalt di kedalaman 10 meter lobang kecil yang tak cukup oksigen. Makanya baterai Nikel Lithium Cobalt dikatakan baterai berdarah. Aktivis lingkungan tidak mendukung mobil EV energi terbarukan tersebut yang berbasis Kobalt sebagai solusi lingkungan, karena menyimpang dari nilai nilai kemanusiaan. 

Berikutnya tidak ada hubungannya dengan lingkungan namun terhadap profit, pebisnis harus taat pada profit, biaya tinggi tidak akan disukai. Mereka mengganti nikel karena harga nikel yang terus naik merupakan ancaman bagi biaya produksi. Maka dibuat baru yang awalnya menggunakan Nikel Lithium Cobalt menjadi Ferro Lithium Phosphate, dimana Ferro dan Phospat adalah unsur yang murah dan banyak tersedia dimanapun. Sehingga tak perlu nikel. 

Namun baru sebentar, Tesla mulai merubah lagu Game Chargingnya, ganti pakai Manganese, lebih murah, lebih banyak dan ringan. Lalu di halmahera bagaimana tambang nikelnya, menurut info yang beredar tesla akan buat pabrik di jawa tengah, karena nikel gak terpakai lagi kedepannya. Jadi bahan pembuat batre ada tiga dari yang termahal Nikel lanjut ke Ferro Lithium Phosphate terus ke Manganese. 

Efek Lingkungan 

Jika benar Game Changing di industri Baterai berubah maka Halmahera yang sudah ke sedot 500 triliun ditinggalkan begitu saja dan jadi daerah tandus dong nantinya. Memang 150 juta manusia di jawa yang pernah tau Halmahera paling hanya 10 ribuan orang, yang lain tidak tau dan masa bodoh.  Mereka tidak tahu ada cerita, derita atau bahagia apa disana. 

Berita di pusat pun datang dari anak buah penjualan senilai 350 triliun dari halmahera sebagai sebuah kisah sukses. Padahal rakyat setempat bertanya. Mana uangnya buat rakyat Halmahera? Bagi rakyat setempat sama saja ada tidaknya tambang nikel di sana, mendingan gak ada tambang nikel. Gak ada aset yang hilang.

“Apa yang bisa disimpulkan dari dua buah alat tadi mengirimkan sinyal kuat kepada kita dunia dalam masa transisi dan beralih ke energi baru, kita harus siap menghadapi era baru. Pertarungan untuk merebut new oil sedang berlangsung dalam bentuk perang yang sesungguhnya, negara mana yang menang perang maka dialah yang akan mengendalikan dunia,” tutup Fahd A Rafiq.

Penulis : Ahmad Sofyan (Kontributor).