Fahd A Rafiq : Siapa Yang Bisa Mengendalikan Informasi Dialah Pengendali Dunia

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq mengatakan bahwa ada sebuah diksi yang menyebut "siapa yang bisa mengendalikan informasi dialah pengendali dunia".

Fahd A Rafiq : Siapa Yang Bisa Mengendalikan Informasi Dialah Pengendali Dunia
Fahd A Rafiq sebut siapa yang bisa mengendalikan informasi dialah pengendali dunia. Gambar : Unsplash.com/Dok. Ben White

BaperaNews - Saat ini perang yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina adalah perang secara militer. Namun, terdapat perang lain di udara yaitu perang narasi di media sosial atau biasa disebut information war. 

Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq menjelaskan bahwa hal ini sama saja dengan di Indonesia yakni masa kampanye yang jangka waktunya masih lama untuk menjadi pejabat puncak di perpolitikan pilpres, namun sudah terjadi perang. Hal yang berkaitan dengan siapa jagoannya, siapa yang layak atau tidak layak, serta ada dorongan untuk memperpanjang jabatan Presiden terus dimainkan di media sosial. 

Fahd A Rafiq mengatakan, “Barat dan sekutu adalah pengendali informasi dunia, hingga saat ini mereka menjadi pemenang dan mengatur informasi yang masuk ke kepala kita semua negara di seluruh dunia. Contohnya perang di Ukraina, beberapa bulan lalu media barat mengatakan, pasukan Putin di permalukan oleh Ukraina. Lebih dari 10.000 tentara Rusia terbunuh oleh pasukan Ukraina. Sementara, di pihak Rusia mengklaim sebaliknya hanya 500 tentara Rusia yang menjadi korban”. 

Tak hanya itu, berita lain juga menyebutkan bahwa Ukraina berhasil menghancurkan 300 tank Rusia. Sementara Rusia mengatakan sudah menghancurkan 900 tank Ukraina. 

Pada intinya, media barat memberikan informasi kepada rakyat Ukraina dan dunia bahwa Ukraina berhasil mempertahankan tanah air negaranya sendiri. Sedangkan Rusia memberikan informasi kepada rakyatnya bahwa pasukan pembebasan Rusia berhasil menaklukkan sepertiga wilayah timur Ukraina yang membuat tanah air Rusia akan terlindungi dari serangan agresi NATO. 

Fahd A Rafiq menjelaskan, sebenarnya ada beberapa korban akibat perang dan tingkat kerusakan yang terjadi di Ukraina selama masa invasi berlangsung. Namun, tidak ada yang tahu pasti karena tidak ada wartawan di medan perang yang dapat memastikan kejadian yang tepat, dan juga tidak ada observer mandiri yang independen di medan perang. 

“Kita juga tidak tahu mana informasi yang di filter, mana informasi yang dimodifikasi, terutama di media sosial. Media sosial itu level playing fieldnya berbebda, karena media sosial saat ini tidak lagi netral,” ujar Fahd A Rafiq. 

Kemudian, Fahd A Rafiq juga menjelaskan tentang “Big Giant” sebuah raksasa teknologi di media sosial seperti Twitter, Google, Facebook, Apple, dimana media tersebut bisa mengambil posisi bersekutu dengan pihak barat. Karena, media tersebut hanya boleh berikan narasi yang sejalan dengan media barat dan membatasi yang tidak sejalan dengan media barat. 

Raksasa teknologi ini sudah salah memperlakukan kenetralan media menjadi pengambil posisi sesuai dengan stakeholder mereka masing-masing, sehingga media di dunia berada dalam satu sisi pandang yaitu semaunya media barat. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Dunia Bisnis Terdisrupsi, Harus Super Cepat Menyesuaikan Diri

Media barat menjadi seperti penghakim, yang mengatur seluruh media informasi di dunia mana yang boleh disiarkan dan mana yang tidak boleh disiarkan. Sehingga, bisa dipastikan ketika Amerika menjadi negara agresor, Amerika bisa dikatakan menjadi penjahat ketika Amerika menginvasi negara lain. Lalu, para raksasa teknologi akan menghujat Amerika dan memberikan sanksi. 

Diketahui, ada beberapa negara yang sudah di invasi oleh Amerika sendiri dan ada negara lain yang lakukan invasi tetapi Amerika juga ikut bergabung dalam invasi tersebut. Dari 193 negara yang diakui oleh PBB, Amerika pernah melakukan invasi di 84 negara. 

Namun, tidak ada satupun media barat yang menyebut Amerika melakukan tindakan yang salah, tidak seperti halnya yang dilakukan Rusia ke Ukraina yang disebut sebagai tindakan salah dan kriminal oleh Giant Tech Media. 

Hal itu karena, Giant Tech Media dibayar untuk memihak. Pada 2021 raksasa teknologi media sosial mendapat keuntungan yang sangat besar dalam mempromosikan “American War on Terror”. 

Amerika membayar Google, Facebook, Microsoft dan Amazon sekitar 44 Billion atau hampir seperempat APBN Indonesia dari Pentagon dan US Homeland Security agar bisa mendapatkan akses data base, penyelidikan personal data, dan penyebaran narasi propaganda. 

Informasi itu membuat hati terkejut dan pikiran dari para pengguna media sosial tersebut. Bisa dibayangkan, 2,7 miliar manusia setiap hari menggunakan Facebook dan Instagram, serta 206 juta pengguna Twitter setiap harinya. 

“Betapa dahsyat efek manipulasi data tersebut di dalam teknologi mengendalikan pembicaraan pengguna di media sosial raksasa teknologi ini,” tegas Fahd A Rafiq. 

Perlu diketahui, para raksasa teknologi informasi ini banyak mempekerjakan manusia dan bekerjasama dengan kementerian pertahanan Amerika, departemen dalam negeri, Homeland Security, NSA (National Security Agency) dan FBI departemen kehakiman Amerika. 

“Ada Jared Cohen, dari state departemen atau kementerian luar negeri sebagai ketua kebijakan internasional dan sekarang dia aktif di Google untuk Counter Terrorism Tool. Lalu, ada Steve Pantelides bekerja di FBI selama 20 tahun, sekarang dia aktif sebagai direktur security di Amazon. Ada Joseph Rozek bekerja di kementerian pertahanan Amerika dan saat ini bekerja di Microsoft sebagai direktur Homeland Security. Ini hanya beberapa nama saja yang di ekspose, namun ada aturan nama orang penting yang berada di raksasa teknologi tersebut.” imbuh Fahd A Rafiq. 

Semua itu digunakan untuk meluruskan pemahaman manusia di seluruh dunia bahwa Nation Interestnya Amerika dan barat adalah kebenaran hakiki, pahlawan dunia serta untuk kebaikan manusia. 

“Dimana saat ini kita tahu ada sebuah diksi yang mengatakan siapa yang mengendalikan informasi dialah pengendali dunia. Itulah tujuannya mengendalikan informasi saat ini,” tegas Fahd A Rafiq

“Menimbang dan memperbanyak merenung adalah salah satu cara agar kita tidak termakan propaganda yang bisa memecah belah bangsa dan negara, seperti banyaknya narasi kebencian dan pemujaan terhadap satu sisi lainnya yang kita harus pilah dan keluarkan dari pikiran kita,” tutup Ketua Umum DPP Bapera, Fahd A Rafiq. 

Baca Juga : Fahd A Rafiq: Bangsa Yang Hobi Berperang Itu Ya Kaukasia (Bule)

Penulis : Ahmad Shofyan (Bapera Pusat)